Kebanyakan bentrokan pilkada terjadi setelah pemilihan berlangsung, tatkala hasil pencoblosan mulai dihitung dan tanda-tanda kemenangan jatuh pada salah satu pasangan calon gubernur dan wakilnya atau calon bupati dan wakilnya. Kerusuhan lebih banyak terjadi setelah pencoblosan daripada tatkala berlangsung kampanye.
Latar belakang, alasan, sebab protes, kerusuhan, dan bentrokan itu hampir-hampir klasik, yakni tuduhan terjadinya kecurangan dan pelanggaran hukum. Penghitungan suara dinilai oleh salah satu pasangan cela, digelembungkan, direkayasa.
Panwaslu, panitia pengawasan pilkada, tidak independen dan netral. Bahkan KPUD, Komisi Pemilihan Umum Daerah, pun digugat. Protes muncul disertai unjuk rasa. Unjuk rasa melanggar aturan karena tak terkontrol, maka terjadilah bentrokan dengan petugas ketertiban umum.
Oleh sebab itu, tugas dari pihak-pihak yang terlibat dalam pilkada untuk bekerja sesuai dengan jalur hukum yang berlaku tanpa adanya penyimpangan dan kecurangan yang disengaja atau karena kelalaian dalam seluruh proses pilkada.
Kedewasaanlah factor utama dalam hal ini, terutama siap menang dan siap kalah. Bagaimanapun juga, kemenangan salah satu kontestan adalah kemenangan bersama.